Lintas Fokus – (Prajogo Pangestu) Pada 9 Juli 2025 lantai Bursa Efek Indonesia bergema ketika PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) resmi diperdagangkan. Harga penawaran Rp 190 per saham langsung diserbu, menghasilkan permintaan 563,64 kali di atas porsi yang tersedia—rekor oversubscribe tertinggi untuk sektor bahan baku dalam lima tahun terakhir. Dana segar Rp 2,37 triliun pun terkumpul untuk ekspansi pelabuhan propilena, armada kapal, dan jaringan pipa etilena.
Dampaknya instan: antrean beli Rp 3,2 triliun hanya dalam dua jam perdagangan pertama mendorong harga menembus batas Auto-Reject Atas ke Rp 256, menambah kapitalisasi CDIA menjadi hampir Rp 31 triliun. Kenaikan inilah yang mengerek nilai portofolio sang pendiri. Bloomberg Billionaires Index mencatat kekayaan Prajogo Pangestu menembus US$ 30–31 miliar per 10 Juli 2025, memantapkan posisinya di puncak daftar orang terkaya Indonesia dan melewati Hartono Bersaudara.
Lonjakan nilai tak muncul tiba-tiba; narasi hilirisasi pemerintah, substitusi impor kimia, dan jejak sukses IPO Barito Renewables (BREN) 2023 membangun antisipasi pasar jauh hari. Investor ritel mengasosiasikan CDIA dengan kesempatan menunggangi rantai pasok domestik yang kian terintegrasi, sedangkan institusi global membaca sinyal kuat kebijakan transisi energi.
Strategi Korporasi Barito Group Memperkuat Posisi Prajogo Pangestu
CDIA melengkapi portofolio emiten Barito Group—Chandra Asri Petrochemical (TPIA), Barito Pacific (BRPT), dan BREN—yang semuanya berstatus “widely held” di bursa. Alih-alih menumpuk aset privat, Prajogo Pangestu sengaja memecah entitas dan melantai bergelombang agar liquidity discount turun seiring bertambahnya free-float. Hasilnya terlihat jelas: sejak IPO BREN akhir 2023, diskon nilai wajar grup menyempit dari 32% menjadi 18%.
Pasca-IPO CDIA, rasio utang bersih Barito Group hanya 0,38×, lebih rendah dari rerata sektor petrokimia Asia 0,65×. Struktur permodalan ini menarik perhatian Indonesia Investment Authority (INA) yang menyiapkan investasi US$ 800 juta untuk proyek kimia rendah emisi di Cilegon—mengamankan akses pendanaan hijau tiga tahun ke depan. Kombinasi modal murah dan sinergi bahan baku internal diperkirakan menambah margin bersih TPIA sebesar 2% per kenaikan US$ 10 per barel harga minyak, menciptakan efek “multi-flywheel” pada valuasi grup.
Sementara bankir investasi melihat peluang penerbitan obligasi hijau US$ 600 juta berkat peringkat kredit yang membaik, analis ritel memfokuskan diri pada peningkatan rasio dividen: manajemen menargetkan payout 35 % laba bersih konsolidasi 2026, naik dari 25 % saat ini—memberi sinyal cash-flow kuat sekaligus menjaga minat pemegang saham jangka panjang.
Dampak Ekonomi Nasional dari Manuver Prajogo Pangestu
Efek domino IPO CDIA meluas ke tiga ranah makro-ekonomi:
Likuiditas Bursa – Dengan kapitalisasi tambahan Rp 85 triliun di sektor bahan baku, indeks global (MSCI, FTSE) mempersiapkan fast-entry CDIA dalam penyesuaian kuartal berikutnya; arus dana asing diperkirakan meningkat 0,8 miliar dolar sampai akhir tahun.
Penerimaan Fiskal – Laba proforma CDIA 2024 sekitar Rp 1,1 triliun akan menyumbang PPh badan ± Rp 242 miliar per tahun. Berkurangnya impor feedstock mempersempit defisit transaksi berjalan hingga US$ 210 juta per 2027, memberi ruang fiskal baru untuk infrastruktur publik.
Ketenagakerjaan & Hilirisasi – Ekspansi kompleks Cilegon menyerap 3.500 pekerja langsung dan 7.000 tak langsung selama konstruksi. Pemerintah menargetkan substitusi impor kimia dasar 35 % pada 2027; CDIA menjadi jangkar pencapaian itu.
Kementerian Perindustrian menyebut aksi korporasi ini “model kolaborasi emas” swasta-negara dalam mempercepat industrialisasi ramah lingkungan di era transisi energi.
Penguatan fiskal pun tercermin di daerah: Pemkot Cilegon memproyeksikan pendapatan asli daerah naik 14% lewat pajak dan retribusi industri pendukung, sementara UMKM logistik lokal berlomba meningkatkan armada untuk memenuhi kontrak rantai pasok Barito Group.
Prospek Hilirisasi dan Energi Hijau Setelah Aksi Prajogo Pangestu
Keberhasilan IPO CDIA bukan garis finis; ia justru membuka jalan bagi ekspansi portofolio hijau. Barito Renewables menargetkan kapasitas listrik terbarukan 1,1 GW pada 2027 melalui proyek PLTP Jawa Barat, PLTS Bali Timur, dan pemanfaatan panas bumi eksisting. Jika EBITDA hijau mencapai Rp 7,2 triliun sebagaimana proyeksi konsensus, valuasi sum-of-the-parts Barito Group berpotensi naik 20–25%—cukup menahan fluktuasi harga komoditas sekaligus mengokohkan posisi Prajogo Pangestu di puncak daftar miliarder.
Namun tantangan tetap ada: volatilitas minyak, regulasi pajak karbon, dan fluktuasi rupiah bisa memengaruhi margin. Manajemen merespons lewat kontrak lindung nilai jangka menengah dan strategi diversifikasi pendapatan—menggarap teknologi carbon capture bekerja sama dengan lembaga riset Jepang serta menyiapkan spin-off unit logistik LNG pada 2026. Langkah-langkah ini dinilai mampu menjaga rasio EBITDA/utang di bawah 2×, syarat penting untuk mempertahankan rating kredit investment-grade.
Secara keseluruhan, kisah Prajogo Pangestu bukan sekadar catatan sensasional di daftar miliarder. Ia menjadi studi kasus bagaimana konglomerat domestik memanfaatkan momentum kebijakan hilirisasi, akses pasar modal, dan tren ESG global untuk menambah nilai sekaligus menyehatkan perekonomian nasional. Jika roadmap hijau Barito Group terealisasi, bukan mustahil Indonesia akan melihat lonjakan investor institusional asing yang sebelumnya skeptis terhadap sektor petrokimia konvensional.
Sumber: Bloomberg