Lintas Fokus – Enam tahun setelah kematian sang finansier skandal, nama Jeffrey Epstein kembali menghantui Washington. Pada awal Juli 2025, Departemen Kehakiman (DOJ) merilis memo dua halaman yang menyatakan tak ada “client list” Epstein. Pernyataan ini langsung bertabrakan dengan janji transparansi Donald Trump saat masa kampanye 2023–2024 yang kala itu menjanjikan deklasifikasi total semua berkas. Kini, menjelang paruh periode kedua, Trump justru meminta pendukungnya “melupakan arsip Epstein” melalui unggahan panjang di Truth Social.
Sejak memo diumumkan, ruang publik Indonesia pun ikut riuh: media sosial dipenuhi diskusi konspiratif—dari spekulasi jaringan elite global hingga dugaan konflik internal di kabinet AS. Lantas, bagaimana pergeseran sikap Trump—dari “akan buka semua file” menjadi “tidak ada yang bisa dibuka”? Berikut uraian lengkapnya.
Janji Kampanye Trump
Pada pertengahan 2023, dalam beberapa rally pra-pencalonan di Ohio dan Arizona, Trump menyisipkan isu Jeffrey Epstein sebagai bagian dari agenda “transparansi besar-besaran”. Ia berjanji “mengungkap setiap halaman berkas Epstein, termasuk daftar nama siapa pun yang terlibat”—klaim yang diperkuat oleh pernyataan tim kampanye serta wawancara di Fox News.
Janji itu menjadi amunisi elektoral yang efektif. Tagar #ReleaseTheList mendominasi platform X dan Truth Social, menyatukan pendukung MAGA serta kelompok aktivis anti-trafficking. “Hari pertama saya kembali di Oval Office, arsip itu akan terbit,” ujar Trump ketika itu. Basis pemilih muda konservatif menganggap aksi itu sebagai bukti keberpihakan pada korban eksploitasi seksual.
Namun, retorika tegas tersebut rupanya menimbulkan ekspektasi tinggi di kalangan internal. Kash Patel (kini Direktur FBI) dan Dan Bongino (Wakil Direktur) bahkan menyatakan melalui podcast bahwa satu subpoena cukup untuk “mengeluarkan black book” Epstein.
Memo DOJ & Fakta Lapangan
Realitas berbalik 7 Juli 2025 ketika DOJ memublikasikan temuan forensik final. Kesimpulannya sederhana tapi eksplosif: Jeffrey Epstein tidak memiliki client list, dan kematiannya tetap dikategorikan bunuh diri.
Memo itu sekaligus menepis klaim Jaksa Agung Pam Bondi yang pada Februari menyatakan “berkas sudah di meja saya”. Bondi lantas menjelaskan bahwa maksudnya hanyalah “file kasus secara umum”, bukan daftar nama. Pernyataan klarifikasi tersebut memicu benturan internal: Bongino dilaporkan mempertimbangkan mundur karena merasa reputasinya dipertaruhkan.
Di mata publik Indonesia, kontradiksi ini menandakan betapa politisnya penanganan kasus Epstein. Pengamat hukum internasional UI, Dr. Syamsul Mubarok, menilai keputusan DOJ “mencederai kepercayaan” karena sebelumnya memupuk harapan tersingkapnya jaringan perdagangan manusia lintas negara.
Reaksi MAGA & Publik
Hanya berselang dua hari setelah memo keluar, Trump menulis di Truth Social: “Hentikan serangan ke Pam Bondi. Ia bekerja FANTASTIS. Tidak pernah ada client list Epstein.”
Pernyataan ini memicu gelombang protes di kalangan basisnya sendiri. Elon Musk, yang sempat bersitegang dengan Trump, menuding presiden “ingkar janji” dan menuntut rilis penuh dokumen. Influencer sayap kanan Laura Loomer dan politisi Marjorie Taylor Greene juga menuduh pemerintah “menutup-nutupi fakta” demi melindungi elite.
Di Kongres, Demokrat Jamie Raskin mengirim surat resmi meminta DOJ membuka semua arsip yang menyebut nama Trump, memperlebar polarisasi. Investor pasar modal pun bereaksi; saham beberapa platform media alternatif melonjak karena dipandang bakal menjadi wadah “kebocoran data” lebih lanjut.
Dampak Politik 2025
Pergulatan narasi Jeffrey Epstein kini berdampak pada peta elektoral Amerika. Survei Gallup pekan ini menunjukkan penurunan 5 poin persetujuan publik terhadap kinerja DOJ dibanding Mei. Analis komunikasi politik Dr. Ratna Handayani menilai perubahan sikap Trump “membuka celah serangan” bagi oposisi, terutama di negara bagian ayun tempat kepercayaan pada pemerintah federal sudah rapuh.
Sementara itu, keluarga korban Epstein menggagas petisi global—ditandatangani lebih dari 600 000 orang—mendesak PBB merekomendasikan standar keterbukaan baru untuk kasus perdagangan manusia. Meski tidak mengikat, tekanan moral internasional makin menambah beban reputasi pemerintahan Trump.
Di Indonesia, diskursus soal Jeffrey Epstein juga menyoroti pentingnya transparansi kasus kekerasan seksual lintas batas. Lembaga Komnas Perempuan mengeluarkan pernyataan bahwa “pelajaran dari kasus ini adalah urgensi akuntabilitas aparat penegak hukum di setiap negara.”
Sumber: Axios