33.2 C
Jakarta
Saturday, September 6, 2025
HomeBerita“Efek Domino!” Boikot Massal di Pestapora Gara-Gara Freeport—Siapa Saja Mundur dan Apa...

“Efek Domino!” Boikot Massal di Pestapora Gara-Gara Freeport—Siapa Saja Mundur dan Apa Akar Masalahnya?

Date:

Related stories

spot_imgspot_img

Lintas Fokus Gelombang boikot membesar di festival musik Pestapora 2025. Sejumlah penampil memilih mundur setelah mengetahui Freeport tercantum sebagai sponsor. Tekanan publik kian tak terbendung hingga penyelenggara mengumumkan pemutusan kerja sama dengan PT Freeport Indonesia pada Sabtu (6/9) dini hari, dan memastikan hari kedua–ketiga berlangsung tanpa afiliasi dengan perusahaan tambang tersebut. Pernyataan resmi itu diunggah lewat akun Instagram Pestapora.

Daftar Mundur yang Kian Panjang, Sikap Promotor, dan Panggung Alternatif

Sejumlah band mengumumkan pembatalan tampil—sebagian memindahkan set ke venue alternatif—sebagai bentuk sikap atas sponsor Freeport. Daftar yang terkonfirmasi di media arus utama antara lain Sukatani, Rekah, The Jeblogs, Swellow, Rebellion Rose, Kelelawar Malam, Leipzig, Negatifa, Durga, Ornament, Xin Lie, Centra; menyusul Hindia dan .Feast yang menyatakan mundur lewat kanal resmi. Deretan rilis dan pemberitaan ini memperlihatkan boikot lintas-genre, dari punk, post-hardcore, hingga pop independen.

Di beberapa pernyataan, musisi menautkan alasan etis—mulai dari solidaritas atas isu HAM di Papua hingga keberatan pada praktik industri ekstraktif. Ada yang menulis panjang di media sosial; ada pula yang cukup dengan satu kalimat pamit. Di luar panggung utama, sebagian kolektif menggelar set pengganti di ruang komunitas agar tetap bertemu pendengar tanpa kompromi terhadap sponsor yang dipersoalkan. Kebijakan promotor kemudian bergeser: hubungan sponsor diputus, tetapi sorotan publik telanjur muncul dan rekam jejak digital mengabadikannya.

Wajib Tahu:

Pestapora menyatakan memutus kerja sama dengan PT Freeport Indonesia per 6 September 2025, dan menegaskan hari kedua–ketiga tanpa afiliasi. Sejumlah band—dari Sukatani hingga Hindia/.Feast—telah mengumumkan mundur.

Mengapa Freeport Disoal: Jejak Kontroversi dari Lingkungan hingga Politik

Bagi banyak musisi dan penonton, nama Freeport bukan sekadar logo. Ia melekat dengan jejak lingkungan dan konflik sosial di Papua, terutama terkait tailings dari kompleks tambang Grasberg yang mengalir ke sistem sungai Ajkwa dan zona pesisir. Studi ilmiah internasional mendokumentasikan inundasi hutan serta degradasi badan air yang vital bagi komunitas adat, sementara audit dan dokumen perusahaan mengakui dampak sedimen signifikan dan menyusun roadmap pengelolaan tailings (ModADA).

Di sisi hak asasi manusia, laporan organisasi internasional dan kelompok pemantau menyoroti rangkaian pelanggaran di Papua dalam konteks operasi keamanan; sebagian laporan mengaitkan perlindungan aset tambang dan represi terhadap warga. Meski konteks konflik Papua kompleks, reputasi Freeport tetap terseret dalam diskusi publik karena operasi berlangsung di wilayah yang sensitif secara politik dan sosial.

Babak lain adalah skandal politik. Publik masih ingat perkara “Papa Minta Saham” (2015), ketika rekaman percakapan terkait Freeport menyeret tokoh politik nasional dan mengguncang kursi kekuasaan. Kasus itu menegaskan sensitivitas relasi antara korporasi tambang dan elite politik di Indonesia—alasan mengapa logo sponsor pada festival musik bisa memantik badai opini.

Dampak ke Ekosistem Musik: Etika Sponsor, Transparansi, dan Hak Audiens

Boikot massal di atas menyingkap tiga pelajaran penting bagi industri festival Indonesia. Pertama, etika sponsor: lini kreatif kian menuntut due diligence—menilai jejak korporasi (lingkungan/HAM/hukum) sebelum logo dipasang di panggung. Kedua, transparansi: musisi dan penonton meminta sejak awal tahu siapa saja sponsor utama; komunikasi yang terlambat berisiko dianggap “menjebak” performer. Ketiga, hak audiens: pembatalan membuat penonton kecewa, tetapi bagi banyak orang, sikap etis artis adalah bagian integral dari pengalaman konser. Panggung alternatif dan refund parsial adalah opsi mitigasi, sementara promotor perlu menyusun standar “red list” sponsor agar insiden tak berulang. (Sebagian musisi yang mundur menyebut keberatan etik secara terbuka, dan promotor akhirnya mengubah kebijakan).

Dari sisi reputasi, keputusan Pestapora memutus hubungan dengan Freeport mencegah krisis makin membesar, tetapi jejak digital tidak bisa dihapus. Ke depan, festival yang ingin meminimalkan risiko sebaiknya mengadopsi kebijakan keterbukaan sponsor (dipublikasikan sejak pre-sale) dan mekanisme opt-out bagi penampil—tanpa penalti—jika terjadi perubahan sponsor setelah kontrak. Persoalan ini bukan sekadar “urusan idealisme”, melainkan manajemen risiko bisnis yang menyentuh kepuasan penonton, kepercayaan artis, dan keberlanjutan acara.

Freeport & Deretan Kasus: Dari Gugatan Adat hingga Tailings

Jejak sengketa Freeport panjang. Pada 2009–2010, Masyarakat Amungme mendaftarkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait perampasan tanah ulayat dan dampak lingkungan—menuntut ganti rugi bernilai besar. Terlepas dari dinamika hukum kasus-kasus tersebut, arsip berita dan jaringan advokasi menekankan dimensi sosial-lingkungan yang tak selesai, mempertebal alasan sebagian musisi menolak tampil di panggung bersponsor Freeport.

Secara lingkungan, literatur akademik memetakan aliran tailings di Ajkwa Deposition Area beserta dampak sedimen jangka panjang di darat dan pesisir. Perusahaan menyodorkan dokumen teknis serta audit eksternal berkala tentang pengelolaan tailings dan pemulihan. Namun, perdebatan publik terus hidup: capaian remediasi vs. kerusakan yang telah terjadi, termasuk aspek hak-hak masyarakat adat. Inilah konteks historis yang ikut “mengiringi” keputusan boikot di Pestapora—bukan sekadar emosi sesaat.

Sumber: Tempo

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img