Lintas Fokus – Badai bermula dari video berdurasi 58 detik milik Lita Gading—psikolog klinis anak dengan 2,1 juta pengikut Instagram. Dalam reels 9 Juli 2025 itu, ia menilai konflik masa lalu Ahmad Dhani–Maia Estianty “membuat lubang semakin dalam di hati si putri, SF”. Video meledak, dibagikan 1,2 juta kali, memicu ribuan komentar negatif ke alamat keluarga Dhani.
10 Juli sore, Ahmad Dhani, ditemani kuasa hukum Aldwin Rahadian, resmi melapor ke Polda Metro Jaya. Pasal yang diusung: Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan Pasal 45 UU Perlindungan Anak. Polisi mencatat bukti 276 tangkapan layar hinaan warganet terhadap SF yang dipicu unggahan Lita Gading.
Psikolog 41 tahun itu menanggapi via siaran langsung: “Konten saya edukasi publik berbasis ilmu. Saya tidak menyebut diagnosis dan tidak berniat merundung.” Ia menolak tuduhan Dhani serta menantang debat etik di depan Ikatan Psikolog Klinis.
Gegas, tetapi penting.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut dihampiri pihak Dhani; lembaga berjanji memfasilitasi mediasi, namun menegaskan perlindungan digital bagi anak tak boleh dinego.
Kubah Argumen Lita Gading: Kebebasan Akademik, Edukasi, dan Good Faith
Tim advokasi Lita Gading—dipimpin pengacara Desmond Sihombing—menegaskan tiga pijakan:
Hak edukasi psikolog diatur UU Psikologi 23/2023, membolehkan publikasi ilmiah sepanjang tak mencantumkan diagnosis.
Fair use foto karena potret SF sudah viral bertahun-tahun sebelum dipakai Lita sebagai ilustrasi.
Niat preventif: video bertujuan mengingatkan orang tua menjaga kesehatan mental anak saat drama keluarga tersiar daring.
Mereka menyiapkan:
Tiga jurnal internasional tentang efek parentification dan cyberbullying.
Screenshot dukungan 4 000 likes yang memuji edukasi Lita.
Surat etika dari Himpunan Psikologi.
Strategi utama: meyakinkan penyidik bahwa konten satir bukan fitsa, serta menawarkan dialog publik “Psikologi & Privasi Anak Seleb”.
Kubah Argumen Ahmad Dhani: Privasi Anak, Stigma Keluarga, dan Kerugian Materiil
Kuasa hukum Dhani membawa 276 bukti komentar bernada ancaman; empat brand mencabut kontrak endorsement SF senilai Rp750 juta setelah video viral. Mereka berargumentasi:
Pasal perlindungan anak melarang penyebutan atau penggambaran yang memicu permusuhan terhadap anak.
Etika profesi: psikolog tak boleh “mendiagnosis melalui media sosial” tanpa asesmen tatap muka.
Cidera reputasi: diksi “lubang di hati” menstigma keluarga dan dapat menciptakan trauma sekunder.
Target akhir kubu Dhani bukan sekadar pemidanaan, melainkan permintaan maaf publik plus ganti rugi materiel—mereka siapkan valuasi penghasilan yang hilang.
Dampak Publik, Hukum, dan Industri Konten Setelah Konflik Lita Gading
Kasus ini memercik perdebatan tentang batas kritik psikolog di era micro-learning Instagram. Data Kominfo: terdapat 8 027 pengaduan pencemaran digital 2024; angka 2025 diprediksi naik 15 %.
Bagi Ahmad Dhani—yang baru merilis lagu “Politik Hati”—isu menjadi boomerang dan pengungkit trafik sekaligus; akun Youtubenya bertambah 120 000 subscriber, namun kolom komentar ditutup. Lita Gading panen 380 000 follower baru, bukti teori “kontroversi capital”.
Komisi IX DPR memanggil Kominfo, KPAI, dan HIMPSI untuk membahas revisi frasa karet UU ITE agar ilmu pengetahuan tak terjerat pasal pencemaran. Kak Seto mendorong restorative justice: “Anak tak boleh jadi panggung ego dewasa.”
Simpulan: Perseteruan Lita Gading vs Ahmad Dhani menyorot zona abu-abu antara kebebasan ilmiah dan perlindungan anak. Apakah edukasi psikolog layak dipidana? Atau orang tua seleb memang butuh perlindungan ekstra? Proses penyidikan dan—mungkin—mediasi KPAI akan menjadi batu uji regulasi digital Indonesia.
Sumber: Detik