Lintas Fokus – Di tengah sorotan publik, Presiden Prabowo Subianto hadir di Parade Militer China untuk memperingati 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II—peristiwa akbar yang menampilkan kekuatan militer Negeri Tirai Bambu di Lapangan Tiananmen, Beijing. Di panggung yang sama, Presiden China Xi Jinping tampil bersama Vladimir Putin dan Kim Jong Un, menegaskan peta aliansi baru yang kian asertif. Beberapa kantor berita internasional menyebut ini parade terbesar China, lengkap dengan demonstrasi rudal hipersonik, drone, hingga flypast udara.
Keputusan Prabowo untuk terbang ke Beijing diambil setelah sempat menunda keberangkatan karena dinamika situasi dalam negeri. Kementerian Sekretariat Negara menjelaskan, undangan Xi sudah lama masuk dan adanya “permohonan khusus” agar Presiden Indonesia hadir, setidaknya satu hari, sebelum kembali ke Tanah Air keesokan malamnya. Pernyataan resmi ini menjadi kunci membaca prioritas diplomasi Jakarta: merawat hubungan dengan mitra utama, tanpa menutup mata pada kondisi domestik.
Pada saat yang sama, media global menyoroti absennya banyak pemimpin Barat, sementara deretan kepala negara dari Rusia, Korea Utara, Iran, dan beberapa negara Asia–Afrika justru hadir. Dalam daftar tersebut, AP menuliskan Indonesia termasuk di antara sekitar dua lusin pemimpin yang datang. Kehadiran lintas negara itu dibaca sebagai sinyal pengelompokan geopolitik yang menguat, dengan China menegaskan diri sebagai poros alternatif.
Agenda Prabowo di Beijing: Diplomasi, Forum, dan Bilateral
Dari sisi agenda, Istana menyebut perjalanan ini berformat kunjungan singkat: berangkat Selasa malam (2/9) dari Halim, menghadiri Parade Militer China pada Rabu (3/9 waktu setempat), lalu membuka ruang interaksi dengan pemimpin dunia—terutama Xi Jinping—sebelum kembali malam berikutnya. Rumusan “jumpa dan berbicara di sela agenda” memberi isyarat pull aside atau pertemuan singkat yang lazim terjadi di sela acara multilateral—bukan state visit penuh—namun cukup untuk mengunci pesan politik dan mempertahankan momentum kerja sama.
Sejumlah media regional menambahkan konteks: keputusan hadir di Beijing datang setelah pemerintah menilai kondisi publik berangsur normal, walau masih ada residu ketegangan pasca-unjuk rasa. Penekanan ini penting untuk menjawab pertanyaan utama publik: mengapa berangkat sekarang? Jawabannya—jika merujuk pemberitaan—karena jendela kesempatan diplomatiknya sempit, sementara relasi RI–RRT strategis di banyak sektor (perdagangan, investasi, teknologi, hingga pertahanan non-aliansi).
Parade Militer China: Panggung & Pesan Geopolitik
Secara substansi, Parade Militer China hari ini menjadi etalase kekuatan PLA. Reuters menulis Xi mengemas pidato dengan diksi “damai atau perang”, sembari memamerkan kemampuan baru: rudal hipersonik, sistem nirawak, dan ragam platform yang diasosiasikan dengan perang modern. Hadirnya Putin dan Kim—figur yang berseberangan dengan Barat—membuat pesan visualnya sangat tebal: Beijing nyaman berdiri di jantung kubu non-Barat. Untuk Indonesia, duduk di barisan kehormatan menandakan politik luar negeri bebas-aktif: hadir, berkomunikasi, tetapi tetap tidak terikat aliansi.
Di sisi keprotokolan, beberapa media mencatat momen Prabowo disambut Xi di lokasi acara, sebuah gestur yang biasanya disiapkan untuk tamu yang dinilai penting bagi tuan rumah. Meski bukan ukuran tunggal kedalaman hubungan, simbol semacam ini memantulkan kehangatan politik yang bisa diterjemahkan ke peluang konkret (misalnya akses pasar, proyek industri, atau kerja sama pertahanan non-aliansi dengan pendekatan capacity building).
Kritik & Konteks: Absensi Barat, Protes di Tanah Air
Hadirnya Prabowo di Parade Militer China tidak lepas dari kritik. Media internasional menyoroti kontras: parade megah di Beijing versus demonstrasi dan ketegangan di beberapa kota Indonesia dalam beberapa hari terakhir. Al Jazeera dan Bloomberg sama-sama mencatat tarik ulur keputusan berangkat–menunda–lalu berangkat lagi, sambil menekankan bahwa Prabowo menilai situasi domestik relatif mereda sehingga ia bisa kembali ke jalur diplomasi. Namun demikian, keberangkatan ini tetap memantik perdebatan soal prioritas dan optik politik di mata publik.
Kritik lain datang dari komposisi tamu: absennya banyak pemimpin Barat membuat sebagian analis menilai acara ini sebagai “deklarasi poros baru” yang rawan mengirim sinyal keliru bagi negara non-aliansi seperti Indonesia. Namun, terdapat pula pembacaan tandingan: kehadiran di Parade Militer China tidak otomatis bermakna keberpihakan; justru bisa menjadi platform komunikasi untuk memastikan kepentingan RI—dari isu perdagangan hingga perlindungan WNI—terjaga di tengah dunia yang makin terbelah. AP dan beberapa media menyebut rentang tamu mencapai sekitar dua lusin negara, mencerminkan ragam motif masing-masing.
Di tingkat narasi global, The Guardian menyoroti kekhawatiran eskalasi militerisme dan implikasinya terhadap Taiwan, sementara Reuters berkali-kali menekankan pesan “anti-hegemonisme” dalam tuturan Xi. Dua bingkai ini—kekhawatiran Barat dan penegasan China—membentuk latar yang perlu diingat pembaca Indonesia saat membaca gestur diplomatik Jakarta: hadir, tetapi tetap menjaga jarak strategis.
Apa Dampaknya bagi Indonesia?
Minimal ada tiga implikasi. Pertama, sambungan diplomasi tingkat tinggi. Bertemu Xi (bahkan sebatas pull aside) membuka ruang membahas isu praktis: stabilitas suplai, investasi manufaktur, proyek infrastruktur, hingga penjajakan kerja sama pertahanan yang tidak bersifat aliansi. Jalur ini relevan saat rantai pasok global bergejolak dan kebijakan industri makin strategis. Kedua, manajemen persepsi. Hadir di Parade Militer China saat negeri sendiri baru meredakan protes menuntut komunikasi publik yang amat rapi—penjelasan periodik, time stamp keputusan, dan peta pulang yang jelas, sebagaimana dipaparkan Setneg (berangkat 2/9 malam, kembali malam berikutnya). Ketiga, posisi bebas-aktif. Indonesia perlu menegaskan bahwa keterlibatan dengan China tidak menggeser relasi dengan mitra lain (AS, Jepang, ASEAN), melainkan bagian dari hedging yang sejak lama menjadi ciri kebijakan luar negeri RI.
Bagi pembaca, kompas praktisnya sederhana: bedakan antara seremonial strategis dan komitmen aliansi. Parade Militer China adalah panggung simbolis; manfaatnya ditentukan oleh follow-up: tindak lanjut birokrasi, negosiasi teknis, dan akuntabilitas hasil yang terasa ke publik. Sementara kritik tetap sah—apalagi menyangkut waktu dan optik—data hari ini menunjukkan pemerintah mencoba mengunci keduanya: hadir secara singkat di Beijing, lalu pulang cepat untuk menutup sisa krisis di rumah. Bloomberg, CNA, dan SCMP memberi gambaran utuh soal kalkulus ini.
Wajib Tahu:
Parade Militer China (3 September 2025) memperingati 80 tahun akhir Perang Dunia II di Tiananmen, menghadirkan Xi, Putin, dan Kim; Prabowo hadir dalam kunjungan singkat dengan rencana kembali malam berikutnya, setelah sebelumnya sempat menunda karena situasi domestik.
Sumber: Bloomberg