29.9 C
Jakarta
Tuesday, August 26, 2025
HomeViralRSUD Sekayu Viral: Dokter Dipaksa Lepas Masker, Ini Kronologi, Aturan, dan Solusi

RSUD Sekayu Viral: Dokter Dipaksa Lepas Masker, Ini Kronologi, Aturan, dan Solusi

Date:

Related stories

spot_imgspot_img

Lintas Fokus Gelombang amarah publik membuncah setelah beredar video dari RSUD Sekayu, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dalam rekaman singkat itu, dua pria yang disebut keluarga pasien terlihat menekan seorang dokter di ruang perawatan dan memaksa melepas masker yang sedang dipakainya. Potongan tersebut menyulut perdebatan sengit: apakah APD memang boleh diminta dibuka demi “komunikasi yang jelas”, atau justru tindakan itu mengancam keselamatan semua orang di ruangan? Artikel ini merangkum kronologi, kerangka aturan medis, etikanya, serta rencana perbaikan yang realistis—agar kasus serupa tak berulang di fasilitas kesehatan mana pun.


RSUD Sekayu: Kronologi Lengkap Insiden di Ruang Perawatan

Beberapa versi video yang beredar memperlihatkan suasana tegang di sebuah ruang rawat VVIP di RSUD Sekayu. Seorang dokter sedang menerangkan kondisi klinis kepada keluarga pasien. Nada percakapan meninggi ketika salah satu pria—diduga kerabat pasien—menginterupsi penjelasan, mendekat ke arah dokter, menarik masker, dan berulang kali memerintahkan, “buka masker!” Rekaman lain menunjukkan gestur mendorong di daerah leher/rahang, sementara pasien yang terbaring tampak terkejut.

Nama dokter yang menjadi sasaran amarah disebut di berbagai laporan sebagai dr. Syahpri Putra Wangsa, Sp.PD, K-GH, FINASIM—spesialis penyakit dalam, konsultan ginjal–hipertensi. Kredensial itu menegaskan kompetensinya menangani pasien dengan komorbid metabolik dan ginjal. Namun, pada kasus ini, persoalan utamanya bukan kompetensi, melainkan pelanggaran keselamatan kerja dan etika ruang perawatan.

Rekaman berdurasi sekitar puluhan detik ini cepat menyebar dan RSUD Sekayu langsung jadi trending. Netizen mayoritas mengecam tindakan intimidatif, sementara sebagian lain menyoroti pentingnya komunikasi yang lebih empatik dari pihak rumah sakit. Di luar pro-kontra, satu benang merahnya jelas: memaksa tenaga kesehatan melepas APD adalah tindakan berisiko tinggi—baik bagi nakes, pasien, maupun keluarga sendiri.


Mengapa Masker Wajib di Rumah Sakit: Perspektif Klinis

Masker bukan sekadar simbol “era pandemi”, melainkan alat pelindung diri (APD) dasar dalam standar infection prevention and control (IPC). Di lingkungan rumah sakit, transmisi droplet dan aerosol bisa terjadi dari batuk, bersin, atau prosedur yang memicu partikel halus. Itulah sebabnya, ketika klinisi berada di dekat pasien—apalagi di ruang tertutup—masker berfungsi sebagai barrier untuk memutus rantai penularan.

Ada anggapan bahwa melepas masker akan membuat komunikasi lebih jelas. Padahal, solusinya bukan membuka masker, melainkan menyesuaikan jarak aman, menurunkan kecepatan bicara, menggunakan face shield tambahan, atau berpindah ke area dengan ventilasi lebih baik jika risikonya rendah. Pada kasus RSUD Sekayu, memaksa dokter menanggalkan APD justru melanggar prinsip keselamatan yang berlaku bagi semua orang di ruangan.

Secara hukum-etik, tenaga medis berkewajiban melindungi diri sekaligus pasien. APD dipakai berdasarkan penilaian risiko: penyakit menular, kondisi imun pasien, dan jenis tindakan. Karena itu, tindakan memaksa melepas APD dapat dikategorikan sebagai gangguan pelaksanaan tugas, bahkan kekerasan jika disertai sentuhan fisik. Rumah sakit wajib memberi dukungan dan memastikan SOP keselamatan dipatuhi tanpa kompromi.


Etika Komunikasi Keluarga–Dokter agar Tak Meledak

Konflik di ruang perawatan sering dipicu gap informasi. Ketika keluarga merasa cemas dan butuh kepastian, nada bicara mudah naik. Di sisi lain, dokter yang harus menjelaskan diagnosis, risiko, dan rencana terapi membutuhkan ruang aman untuk bekerja sesuai SOP. Agar percakapan tidak berubah menjadi konfrontasi seperti di RSUD Sekayu, kedua pihak perlu memegang “aturan main” berikut:

  1. Prioritaskan keselamatan. APD bukan penghalang empati. Jika suara kurang jelas, mintalah dokter mengulang dengan tempo lebih lambat atau gunakan catatan tertulis—alih-alih memaksa melepas masker.

  2. Gunakan bahasa pertanyaan, bukan perintah. “Bisa dijelaskan apa artinya infeksi ini?” jauh lebih produktif daripada “buka masker dan jelaskan sekarang”.

  3. Validasi emosi, jaga tubuh tetap tenang. Ekspresikan kekhawatiran tanpa menyentuh atau mendorong tenaga kesehatan. Sentuhan yang tidak diizinkan bisa masuk ranah pelanggaran hukum.

  4. Minta ringkasan tertulis. Lembar edukasi berisi diagnosis, obat, tanda bahaya, dan kontrol berikutnya akan mengurangi kebingungan.

  5. Gunakan jalur keluhan resmi. Bila ada yang dirasa tidak tepat, catat kronologi dan sampaikan ke unit pengaduan atau komite etik. Bila perlu, minta second opinion sesuai mekanisme rumah sakit.

Mengikuti lima prinsip ini tidak hanya menurunkan tensi, tetapi juga memastikan keputusan medis diambil berdasarkan data, bukan tekanan.


Langkah Perbaikan: SOP, Keamanan, dan Edukasi Publik

Insiden RSUD Sekayu membawa pesan keras: SOP keselamatan harus terlihat dan terasa sejak pintu masuk. Ada setidaknya empat langkah korektif yang patut dilakukan rumah sakit mana pun:

1) SOP komunikasi berisiko tinggi.
Buat protokol percakapan untuk kasus yang memicu emosi—misalnya, saat menyampaikan kabar buruk atau keputusan terapi invasif. Dokter didampingi perawat/pendamping komunikasi, dengan posisi duduk aman, jarak yang tepat, dan jalur keluar yang tidak terhalang. Di situ pula ditegaskan: APD tidak dinegosiasikan.

2) Penataan ruang dan keamanan.
Ruang rawat VVIP kerap memuat banyak keluarga. Pasang pembatas jumlah pendamping, gunakan kamera internal untuk dokumentasi (dengan kebijakan privasi), dan sediakan panic button terhubung ke satpam. Seragamkan pelatihan de-eskalasi untuk petugas garda depan.

3) Edukasi visual.
Tempel poster edukasi tentang alasan medis penggunaan masker, bagan alur komplain, dan tata krama kunjungan. Bahasa harus sederhana, dengan contoh nyata—misalnya, tabel “boleh/tak boleh” di ruang rawat. Edukasi ini perlu menyebut RSUD Sekayu sebagai studi kasus pembelajaran agar pesan terasa relevan.

4) Pendampingan hukum bagi nakes.
Manajemen wajib menyediakan payung hukum: bantuan hukum saat terjadi kekerasan, SOP pelaporan kejadian, serta dukungan psikologis. Tenaga kesehatan yang merasa dilindungi akan lebih berani menegakkan SOP tanpa takut diintimidasi.

Langkah-langkah ini memperlihatkan bahwa keselamatan bukan hanya urusan masker, tetapi ekosistem yang membuat komunikasi medis berlangsung aman, tertata, dan manusiawi.

Wajib Tahu:

Insiden di RSUD Sekayu terjadi di ruang rawat VVIP dan terekam jelas: keluarga pasien memaksa dokter melepas masker. Dalam standar IPC, APD ditetapkan berdasar risiko klinis dan tidak boleh dinegosiasikan. Bila tidak puas, gunakan jalur komplain resmi, bukan intimidasi.

Sumber: Detik

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img