Lintas Fokus – Nama Yusuf Mansur kembali memuncaki percakapan publik setelah potongan video siaran langsungnya beredar luas. Di video itu, ia menyinggung donasi dari ribuan hingga puluhan juta rupiah dengan imbal balik doa khusus, bahkan menyebut pembacaan Al-Fatihah oleh ratusan orang bagi donatur nominal tinggi. Potongan ini memicu label “doa berbayar” dan sontak mengundang pro kontra. Sejak Senin 13 Oktober 2025, Yusuf Mansur menegaskan video itu adalah rekaman lama dan konteksnya candaan, bukan penjualan doa. Ia menyebut sedang menguji fitur transfer antarpengguna saat berbicara demikian.
Apa Sebenarnya yang Terjadi di Video Viral Itu
Cuplikan yang beredar memperlihatkan Yusuf Mansur mengajak audiens berdonasi dengan nada bercanda, sembari menyinggung angka 10 juta hingga 20 juta rupiah. Ia juga menyebut donasi bernilai besar akan didoakan secara khusus, termasuk pembacaan Al-Fatihah berjamaah hingga ratusan orang. Potongan inilah yang kemudian dibaca sebagai adanya “tarif” pada doa.
Dalam bagian lain, Yusuf Mansur mengatakan nominal kecil tetap dilayani. Ia mencontohkan Rp1.000 yang dapat dikirim lewat PayTren, menegaskan tidak ada patokan harga baku. Konteks potongan tersebut, menurutnya, adalah candaan ketika sedang menjajal fitur transfer mikro. Ini pula yang memantik simpang siur, karena bagian candaan dan uji fitur tidak selalu ikut tersebar bersamaan di media sosial.
Reaksi warganet pun terbelah. Ada yang menilai ucapannya menyerupai komersialisasi doa, ada pula yang melihatnya sebagai gaya komunikasi spontan saat siaran langsung yang sering memadukan edukasi, humor, dan ajakan donasi. Namun yang pasti, rekaman itu sukses mengerek perbincangan tentang batas etika promosi donasi di ruang digital.
Klarifikasi Langsung dari Yusuf Mansur
Menjawab kehebohan, Yusuf Mansur menyatakan video yang beredar adalah materi lama dan disampaikan dalam format bercanda. Ia mengaku memang kerap melempar gurauan bernada hiperbola untuk menghidupkan suasana siaran, namun menegaskan tidak pernah mematok tarif khusus pada doa. Ia bahkan menyebut contoh nominal yang sengaja dibesar-besarkan sebagai bagian dari canda. Dalam penjelasannya, ia juga menggarisbawahi konteks uji coba fitur transfer kecil antarpengguna di masa lalu.
Klarifikasi ini penting diperhatikan mengingat ledakan viral kerap lahir dari potongan singkat tanpa konteks lengkap. Mengambil kesimpulan dari sepotong video sangat berisiko, terlebih saat siaran langsung melibatkan interaksi real-time, banjir komentar, dan improvisasi host. Di sinilah publik perlu menimbang informasi secara berhati-hati dan merujuk pada sumber primer saat mencari duduk perkara.
Fakta Regulasi yang Relevan: Status PayTren
Kisruh “doa berbayar” turut menyeret nama PayTren ke percakapan warganet, sebab platform itu beberapa kali disebut dalam potongan video. Perlu dicatat, pada 8 Mei 2024 Otoritas Jasa Keuangan telah menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha PT Paytren Aset Manajemen sebagai Manajer Investasi Syariah. Dalam pengumuman resminya, OJK merinci sejumlah pelanggaran seperti kantor tidak ditemukan, tidak memenuhi komposisi pengurus, hingga kewajiban pelaporan yang mangkrak. OJK juga mewajibkan penyelesaian kewajiban hingga proses pembubaran perusahaan efek dalam tenggat yang diatur. Fakta hukum ini relevan sebagai latar, meski isu “doa berbayar” sendiri adalah perdebatan etika komunikasi dakwah di ruang digital.
Laporan media keuangan menegaskan kembali poin-poin sanksi serta konsekuensi pascapencabutan izin, termasuk larangan beroperasi sebagai manajer investasi dan kewajiban pembubaran. Informasi ini membantu pembaca memisahkan mana ranah regulasi pasar modal dan mana ranah komunikasi dakwah, agar tidak mencampuradukkan isu hukum dengan polemik narasi konten.
Pelajaran buat Lembaga Dakwah di Era Live Streaming
Kasus Yusuf Mansur mengajarkan beberapa hal. Pertama, siaran langsung menghadirkan ruang interaksi yang cair, namun setiap ucapan mudah ter-potong dan dipersepsikan berbeda. Pilihan diksi dan pengulangan hiperbola yang lucu di ruangan tertutup bisa terasa ofensif di linimasa terbuka. Kedua, fitur donasi, tip, atau sawer adalah praktik lazim di berbagai platform, tapi perlu penandaan yang jelas: mana donasi sukarela, mana layanan, dan mana sekadar contoh atau candaan. Ketiga, setiap entitas yang pernah berurusan dengan regulator keuangan harus ekstra transparan agar publik tidak salah kaprah ketika mendengar istilah seperti “transfer”, “fitur pembayaran”, atau “nilai donasi” di ruang dakwah.
Bagi pengelola lembaga, beberapa langkah berikut bisa meminimalkan salah paham: buat disclaimer on-screen saat menyinggung nominal, pisahkan akun penerimaan donasi dari akun personal, rekam klarifikasi versi panjang dan sematkan di deskripsi video, serta hindari menyebut “doa khusus” dalam format yang terdengar seperti paket berjenjang. Publik sendiri diharapkan melakukan cross-check ke sumber primer dan klarifikasi terbaru sebelum menyimpulkan adanya praktik “doa berbayar”.
Wajib Tahu:
Potongan video sering menghilangkan konteks humor atau uji fitur. Untuk isu Yusuf Mansur, rujuk klarifikasi terbaru dan lihat kronologi lengkap agar tidak terjebak framing parsial.
Sumber: Detikcom