Lintas Fokus – Ketika Bloomberg New Economy mengumumkan jajaran Global Advisory Board edisi 2025, satu nama langsung menyita perhatian publik Tanah Air: Joko Widodo. Eks Presiden RI itu kini duduk satu meja dengan para figur kelas dunia, di forum yang sejak 2018 rutin mempertemukan pemimpin negara, CEO multinasional, dan pembuat kebijakan untuk membahas transformasi ekonomi global. Pengumuman resmi menyebut dewan penasihat ini “dibentuk April 2025” untuk memberi masukan strategis menghadapi tantangan kompleks dunia, dengan Gina Raimondo dan Mario Draghi sebagai co-chair.
Di atas kertas, undangan itu pantas dirayakan. Indonesia mendapatkan panggung, nama pemimpin kita tercatat di forum bergengsi. Namun, selebrasi cepat seringkali menutupi pertanyaan penting: apa dampak riilnya bagi tata kelola, arah kebijakan, dan kredibilitas ekonomi Indonesia ke depan? Dan apakah penunjukan ini sekadar pengakuan prestasi, atau justru juga menegaskan pola lama: reputasi personal melaju lebih cepat daripada reformasi institusional?
Mengapa Forum Ini Penting, dan Seberapa Penting?
Bloomberg New Economy dibangun sebagai jembatan antara negara maju dan berkembang, “membuka” isu perdagangan, teknologi, investasi, hingga kesenjangan pembangunan. Forum tahun ini dijadwalkan di Singapura pada 19–21 November 2025, dengan dukungan mitra pendiri seperti Envision, HSBC, dan Tata Sons. Kehadiran nama-nama besar dalam dewan penasihat diharapkan memperkaya perspektif dan memandu agenda forum.
Bagi Indonesia, posisi di meja ini memberi akses jaringan, narasi, dan—bila dimanfaatkan cermat—peluang investasi. Tetapi reputasi tak bisa hanya ditopang oleh panggung. Ia menuntut konsistensi kebijakan, transparansi, dan rekam jejak reformasi yang bisa diuji.
Satu Kursi, Banyak Ekspektasi
Penunjukan Jokowi diumumkan melalui kanal resmi Bloomberg New Economy dan diperkuat pemberitaan internasional yang menampilkan daftar anggota dewan, termasuk pejabat dan tokoh lintas sektor. Jajaran penasehat global ini memang dirancang sebagai kombinasi mantan kepala negara, eksekutif, dan pemikir kebijakan.
Di sisi lain, publik Indonesia tidak bisa melupakan dinamika beberapa bulan terakhir: peluncuran dan perdebatan “super” dana kekayaan negara Danantara, langkah-langkah kebijakan fiskal yang menekan pasar, sampai kekhawatiran tata kelola—isu-isu yang membuat pasar keuangan sempat gelisah. Keterlibatan figur-figur kelas dunia di Danantara, dan masuknya eks presiden ke berbagai posisi penasihat, telah menimbulkan pertanyaan tentang batas-batas pengaruh politik pasca-jabatan dan urgensi mempertegas standar tata kelola.
Pertanyaannya sederhana namun berat: apakah posisi baru di Bloomberg New Economy akan menjadi wahana mendorong disiplin kebijakan dan tata kelola di dalam negeri, atau hanya panggung relasi publik yang memperindah etalase sambil persoalan struktural tetap dibiarkan?
Bloomberg New Economy di Tengah Realitas Indonesia
Satu dekade terakhir, Indonesia menjual narasi besar: transformasi industri, hilirisasi, dan lompatan infrastruktur. Di panggung Bloomberg New Economy, narasi itu berpotensi dipromosikan ulang—lengkap dengan janji magnet investasi dan penguatan peran Indonesia di rantai pasok global. Forum ini sejak awal memang bertujuan “mentransendensikan” sekat antara utara–selatan dan barat–timur, seraya menutup jurang pembangunan lewat inovasi.
Namun, narasi hanya bernilai jika datanya kuat dan pelaksanaannya tegas. Investor yang duduk di forum yang sama paham bahwa angka, tata kelola, dan kepastian hukum menentukan keputusan modal. Mereka membaca laporan, mengikuti keputusan fiskal, dan menilai apakah regulasi konsisten atau berubah-ubah. Jika “panggung global” tak dibarengi pembenahan domestik, maka tepuk tangan di konferensi hanya akan menjadi gema sesaat.
Wajib Tahu:
Bloomberg New Economy membentuk Global Advisory Board baru pada April 2025, dengan Gina Raimondo dan Mario Draghi sebagai co-chair. Forum 2025 dijadwalkan berlangsung di Singapura pada 19–21 November.
Sinyal ke Pasar: Kredibilitas, Bukan Sekadar Kredensial
Pasar menghargai kredibilitas lebih daripada kredensial. Nama besar di kartu nama membantu, tetapi konsistensi kebijakan yang ramah investasi dan akuntabel adalah mata uang sesungguhnya. Ketika Bloomberg New Economy menempatkan Jokowi bersama jajaran penasihat lain—dari pemimpin negara hingga CEO institusi keuangan besar—ini bisa menjadi “uji performa” yang konkret: apakah kita mampu menjawab ekspektasi tata kelola dan kepastian kebijakan yang sama tingginya dengan standar forum internasional tersebut.
Dalam beberapa bulan, publik akan melihat: apakah diskusi panel dan jaringan yang terbuka di forum membawa tindak lanjut nyata pada pembenahan regulasi, penguatan perlindungan investor, dan komunikasi kebijakan yang lebih transparan. Tanpa itu, sulit berharap status di Bloomberg New Economy menyelesaikan pekerjaan rumah.
Apa Implikasi Nyatanya untuk Indonesia?
Akses jaringan dan narasi
Kanal untuk memperkenalkan agenda industri, energi, dan teknologi Indonesia ke audiens global. Manfaat akan terasa jika diikuti “follow-up” kebijakan yang memudahkan realisasi investasi, bukan sekadar promosi.Uji tata kelola dan koordinasi kebijakan
Di tengah sorotan atas struktur dan governance Danantara, standar forum internasional menjadi cermin. Ini peluang sekaligus tekanan untuk memperbaiki tata kelola BUMN, fiskal, dan koordinasi lintas kementerian.Manajemen ekspektasi pasar
Kehadiran di forum bergengsi bisa mengerek ekspektasi. Jika tidak dibarengi konsistensi, pasar mudah kecewa—dan kita sudah pernah melihat volatilitas itu.Diplomasi ekonomi yang lebih presisi
Duduk di dewan penasihat membuka ruang “policy signaling” yang bersih dan terukur. Namun sinyal kebijakan ke luar tak boleh kontradiktif dengan praktik di dalam negeri.
Sumber: Reuters