Lintas Fokus – Pekan pertama Juli 2025 dibuka dengan kabar yang langsung mengusik kantong pengendara: seluruh lini BBM Pertamina non-subsidi resmi mengalami penyesuaian. Di banyak SPBU Jabodetabek, papan digital kini menampilkan Pertamax Rp 12.500/liter, Pertamax Green 95 Rp 13.250/liter, Pertamax Turbo Rp 13.500/liter, Dexlite Rp 13.320/liter, dan Pertamina Dex Rp 13.720/liter. Kenaikan berkisar Rp 450–700 tergantung varian.
Pertamina Patra Niaga menegaskan bahwa perubahan mengikuti tren rata-rata harga minyak mentah dunia Mei-Juni yang menembus 83 USD per barel (Brent), plus depresiasi rupiah di kisaran Rp 15.400 per USD. Formulanya diatur Keputusan Menteri ESDM 245.K/2023 sehingga tiap awal bulan harga harus dievaluasi.
Langkah ini memang menuai reaksi. Di jagat X (dulu Twitter) tagar #BBMPertamina melesat ke trending, sebagian warganet membandingkan tarif regional: Malaysia mematok RON 95 sekitar Rp 8.500, sementara Singapura—akibat beban pajak tinggi—tembus Rp 30.000. Konteks pajak, kurs, dan biaya distribusi nusantara yang jauh lebih luas perlu masuk kalkulasi, tetapi narasi “lebih mahal dari negara tetangga” memang mudah viral.
Kenaikan kali ini dinilai paling berdampak pada komuter harian Jabodetabek yang jarak tempuhnya rata-rata 40 km.
Ekonomi Mikro: Dampak Kenaikan BBM Pertamina bagi Pelaku Usaha
Efek domino pertama muncul di sektor logistik ringan. Paguyuban Driver Kurir mengestimasi lonjakan biaya operasional 2–4 % per rit—kecil di kertas, tetapi berarti ketika margin tipis. UMKM kuliner yang memanfaatkan layanan antar juga ikut tertekan karena aplikator cenderung menyesuaikan tarif poin.
Sementara itu asosiasi angkutan kota di Surabaya sudah mengajukan revisi tarif dasar dari Rp 8.500 menjadi Rp 9.500. Dinas Perhubungan belum merespons, menunggu data inflasi bulanan BPS Juni (rilis 2 Juli). Pengalaman kenaikan September 2022 menunjukkan inflasi transportasi bisa menular ke komponen bahan-makanan dalam 6–8 minggu.
Meski begitu, analis Danareksa mengingatkan: porsi bahan bakar terhadap Cost of Goods Sold industri manufaktur rata-rata hanya 3 %—lebih rendah dari beban energi di sektor jasa transportasi. Artinya, ancaman “gelombang” kenaikan harga barang konsumsi massal diprediksi tetap terbatas pada kategori yang sensitif ongkir—beras kemasan, air minum galon, dan produk segar jarak jauh.
Dompet Aman: Strategi Hemat Menghadapi Lonjakan Tarif BBM Pertamina
-
Gunakan RON sesuai kompresi mesin. Banyak pengendara city-car 1.200 cc sebenarnya cukup dengan Pertamax Green 95, bukan Pertamax Turbo. Selisih Rp 250 bisa menghemat hingga Rp 25.000 per bulan.
-
Manfaatkan promo aplikasi MyPertamina. Hingga 31 Agustus 2025, cashback 5 % (kuota 20.000 pengguna/hari) masih aktif.
-
Teknik hyper-miling. Akselerasi lembut, jaga rpm di bawah 2.500, dan matikan AC menjelang tiba. Uji komunitas Avanza Owner menunjukkan efisiensi 8 %.
-
Rutin cek tekanan ban. Tekanan kurang 10 psi menambah konsumsi 3 %.
-
Car pooling terjadwal. Startup lokal RideshareID kini menampilkan rute kantor-satellite city, memangkas separuh biaya bensin harian.
Langkah sederhana ini terdengar sepele, tetapi jika dikumulasi bisa menetralkan 60 % efek kenaikan menurut simulasi Indonesian Energy Watch.
Regulasi & Fiskal: Langkah Pemerintah Setelah Penyesuaian Harga BBM Pertamina
Kementerian ESDM menegaskan tidak ada revisi BBM subsidi (Pertalite & Solar) setidaknya hingga Oktober 2025 karena anggaran kompensasi energi masih tersisa Rp 46,2 triliun. Pemerintah juga sedang memfinalkan roadmap Pertalite menuju BBM ramah lingkungan RON 91 pada 2026.
Pada saat bersamaan, Rancangan Perpres Pajak Karbon gelombang kedua memasukkan sektor transportasi jalan sebagai target 2028. Jika skema ini jalan, setiap liter bensin akan dibebani harga karbon Rp 150–200—kecil, tapi sinyal jelas agar masyarakat beralih ke EV.
Di sisi korporasi, Pertamina Patra Niaga intensif mencari pasokan minyak mentah jangka panjang dari ADNOC dan Aramco dengan formula diskon 3–5 % demi meredam fluktuasi. Adapun rencana pembangunan kilang RDMP Balikpapan Fase II ditarget on-stream Q4-2026, menaikkan yield bensin dalam negeri menjadi 58 %.
Pakar fiskal UI, Riyanto S.E., menilai kenaikan BBM Pertamina kali ini “pain today, gain tomorrow” karena penerimaan PNBP migas naik ±Rp 3 triliun per kuartal, memberi ruang fiskal untuk subsidi tarif kereta cepat Jabodetabek yang efektif mengurangi pemakaian BBM di darat.
Sumber: CNBC Indonesia